KAJIAN KITAB BULUGHUL MAROM
HAL – HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT
(Berbicara Dalam Sholat)
OLEH : KH.HELMI WAFA
Hadist
“Suatu saat aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada seseorang dari kaum yang bersin. Aku kemudian membalas ucapan tahmidnya, ‘Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).’ Orang-orang lantas memandangiku, aku malah menjawab, ‘Kenapa kalian memandangiku seperti itu?’ Mereka lantas menepuk paha mereka. Ketika aku melihat mereka, mereka memaksudkan agar aku diam, lantas aku pun diam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, aku berkata, ‘Demi ayahku dan ibuku, aku tidaklah pernah melihat pengajar sebelum atau sesudahnya yang lebih baik dalam mendidik selain dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, beliau sama sekali tidak berkata keras, tidak memukul, dan tidak mencelaku.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya ada suatu perkataan manusia. Ia hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)
Penjelasan hadits di atas menurut KH. Helmi Wafa dalam kitab Bulughul Maram adalah
- Dialog di dalam shalat dengan sengaja walaupun itu doa menjawab bersin, hukumnya adalah membatalkan shalat karena berbicara dalam shalat (dengan lawan bicara) itu bertentangan dengan tujuan shalat.
- Jika ada yang bersin dalam shalat, ia boleh mengucapkan alhamdulillah, tetapi saran para ulama dibaca sirr(lirih).
- Kenapa ucapan alhamdulillah ketika itu boleh? Karena bacaan tersebut adalah dzikir. Kaidahnya: disunnahkan dzikir dalam shalat itu dibaca sirr (lirih) kecuali ada tuntutan dalil untuk menjaharkan.
- Hadits ini jadi dalil berbicara dalam shalat dalam keadaan tidak tahu akan keharamannya dihukumi shalatnya sah dan shalat yang dulu-dulu tidak perlu diqadha’. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkam Mu’awiyah mengganti (mengulangi) shalat-shalatnya yang dulu.
- Kaidah penting: pembebanan suatu hukum dilihat dari adanya kemampuan ilmu dan amal. Jika tidak mampu dalam ilmu dan amal, maka tidak dibebankan hukum tersebut. Pembebanan hukum setelah adanya ilmu (at-takliif bakda al-‘ilmi). Muawiyah tidak disuruh mengulangi shalat yang dulu pernah dilakukan walaupun pernah bicara, karena pembebanan hukum itu setelah adanya ilmu.
Hadist
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami benar-benar pernah berbicara dalam shalat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah seorang di antara kami berbicara kepada temannya karena sebuah keperluan, lalu turunlah ayat, ‘Peliharalah segala shalatmu dan shalat yang tengah dan berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.’ Lalu kami diperintahkan untuk diam dan kami dilarang untuk berbicara.” (Muttafaqun ‘alaih, lafaznya menurut Muslim) [HR. Bukhari, no. 1200 dan Muslim, no. 539]
Penjelasan hadits di atas menurut KH Hilmi Wafa dalam kitab Bulughul Maram adalah
- Diharamkan berbicara dalam shalat baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, baik berbicara yang sedikit maupun banyak.
- Berbicara dalam shalat itu membatalkan shalat dan diharamkan karena bertentangan dengan maksud shalat. Shalat itu hubungan antara seorang hamba dengan Rabbnya. Hendaklah seorang yang shalat tidak tersibukkan dengan hal lain selain dari bermunajat kepada Allah dan tunduk di hadapan-Nya.
- Siapa saja yang sedang shalat lalu berbicara dalam keadaan lupa, atau ia menyangka shalatnya telah usai, menurut pendapat yang paling kuat, shalatnya tidaklah batal (shalatnya tetap sah). Inilah yang jadi pendapat Imam Malik, Imam Syafii, dan pendapat dari Imam Ahmad, serta dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara dalilnya adalah kisah Muawiyah yang telah dibahas sebelumnya. Juga hadits yang menyatakan bahwa telah dihapus dosa pada yang lupa, keliru, atau dipaksa.
Penulis
FAIZIN